Sabtu, 01 Juni 2013

Three Days of You (Part. 1)


Pertemuan ini sudah direncanakan. Ini pertama kalinya aku bertemu kembali dengannya setelah empat tahun perpisahan kami. Awalnya berat sekali untuk merencanakan pertemuan ini. Tapi aku harus mencoba dan mengetahui sejauh mana hati ini telah berpaling darinya. Aku yang memutuskan untuk berpisah, aku juga yang menghilang dari kehidupannya, kini aku kembali.
                Aku memejamkan mata merasakan hembusan angin yang menerpa wajahku dan mendengar desiran ombak yang beradu dengan batuan karang yang besar. Matahari sebentar lagi akan terbenam, mungkin aku satu-satunya orang yang duduk dipinggiran pantai seperti sekarang ini. Tempat ini sunyi namun begitu indah. Disini bukanlah pantai yang bisa dikunjungi oleh orang-orang umum untuk berwisata tapi tempat ini khusus dimiliki sebuah keluarga yang memiliki villa pribadi. Andi menyewakan villa ini untuk kegiatan reuni kami. Aku yang menyelenggarakan acra reuni ini dan Andi berbaik hati memohon kepada kedua orangtuanya untuk meminjamkan villa ini untuk kami tinggali selama tiga hari. Kami tidak berdua saja, ada Armita, Inggrid, Nita, Vic, dan teman-teman seangkatan kami lainnya yang membulatkan jumlah menjadi duabelas orang.
                Sore menjelang malam. Semua berkumpul di dalam villa kecuali aku. Aku duduk dibawah pohon kelapa yang tingginya sekitar 3,5 m lebih tinggi dariku. Aku bahkan tidak menyadari kehadiran Andi yang sepertiya sudah semenjak tadi memerhatikan aku dari kejauhan. Andi tiba-tiba saja duduk disampingku sambil terus memerhatikanku. Aku membuka mata dan langsung menoleh kesamping ke tempat Andi berada.
                “Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Andi.
                “Tidak ada.” Jawabku sambil tersenyum dan menundukkan wajah.
                “Ayo kita ke dalam. Hari sudah semakin gelap.” Andi beranjak dari tempat duduknya dan pergi terlebih dahulu. Aku hanya menghela nafas dan kemudian pergi mengikutinya.
***
Suasana di dalam villa sangat hangat dan sangat ramai. Vic sedang memvideokan kegiatan kami dengan kamera digital baru miliknya. Armita, Nita, dan 2 temaku yang lain sibuk menyiapkan makan malam. Inggrid sedang berbincang-bincang di meja makan dengan Divo dan Margaret. Yang lainnya bersantai di depan televisi. Aku dan Andi yang baru saja memasuki villa langsung menjadi sasaran kamera baru Vic.
                “Ini dia pasangan yang baru saja datang dari bulan madu. Hahahaha” Vic bercanda kemudian tertawa. Aku yang sudah mengetahui wataknya tidak lagi menghiraukan tingkah lakunya yang banyak omong itu.
                “Diam kau Vic. Hentikan itu.” Andi berkomentar sambil menjauhkan kamera dari hadapannya.
                “Kalian dari mana saja?” Tanya Inggrid yang entah melontarkan pertanyaan kepadaku ataukah kepada Andi.
                “Aku hanya berjalan-jalan di pinggir pantai saja kok.” Jawabku sambil tersenyum kepada Inggrid.
                “Ayo! Kita makan. Makanan sudah siap nih.” Teriak Armita kepada kami semua. Vic yang dari tadi sibuk dengan kameranya langsung bergegas ke ruang makan, begitu juga yang lainnya.
***
                Selesai makan malam para wanita membereskan meja makan dan mencuci alat-alat makan. Armita nampak sedang mengelap meja makan. Inggrid dan Margaret masih melanjutkan percakapan mereka. Tiga teman wanitaku pergi ke lantai dua untuk menata tempat tidur. Aku sendiri mencuci piring dan alat-alat makan.
                PRANGGGGG!!! Terdengar suara piring yang menyentuh lantai dan hancur berkeping-keping. Tanganku bergetar, penglihatanku pun buram, aku mundur dari wastafel tempat aku mencuci piring namun aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terasa lemas dan aku tak dapat menopang berat tubuhku sendiri. Aku terhuyung hingga menabrak dinding dibelakangku. Armita yang pertama kali membantuku. Ia memegang tanganku dan menjaga tubuhku agar tidak jatuh. Kemudian yang lainnya berdatangan dan aku pun tak sadarkan diri.
                Gelap. Yang aku lihat hanya kegelapan.  Aku ingin sekali membuka mata tetapi tak bisa. Mataku terasa berat dan sulit untu dibuka. Aku merakan ada yang sedang menggendongku. Aku mencium aroma cologne pria dan jika ku hidup aku mencium aroma woods dan forest. Tidak lama kemudian aku merasakan tubuhku telah berada diatas kasur yang empuk.
***
                Aku tak tahu sudah tertidur berapa lama, tapi melihat jam dinding sekarang menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Teman-temanku yang lain tentunya sudah beristirahat. Akan tetapi aku merasakan ada yang sedang menggenggam tanganku.
                “Andi.” Ucapku lirih. Namun ucapanku membuatnya terbangun.
                “Ra, kamu udah sadar? Kamu gapapa? Apa yang kamu rasain?” Tanya Andi dengan nada khawatir.
                “Aku gapapa kok.” Jawabku sekenanya.
                “Apanya yang gapapa? Kamu tadi pingsan.” Sanggah Andi masih dengan kekhawatiran.
                “Aku gapapa. Tadi aku cuma ngerasa pusing aja.” Jawabku berusaha untuk meredakan kekhawatirannya. Akan tetapi kondisi tubuhku bertolak belakang dengan usahaku untuk menenangkan Andi. Aku justru merasakan sakit di area perutku sekarang. Aku tidak dapat menyembunyikannya karena Andi terlanjur melihat ekspresi kesakitanku.
                “Ouch. Tsk.” Aku mencoba menahan rasa sakit sambil menggigit bibir bagian bawah. Namun sakit yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Perutku terasa dililit sekaligus diinjak-injak. Entah bagaimana menggambarkannya lebih baik lagi, tapi begitulah yang aku rasakan. Tanpa aku sadari bibir ku terluka karena aku menggigitnya terlalu keras. Andi yang kalut melihat keadaanku tanpa pikir panjang mencium bibirku. Batinku berontak, pikiranku pun menghardiknya. Apa yang sedang dia lakukan padaku. Mengapa dia menciumku? Tak lama setelah pikiranku yang ikut kalut atas tindakan Andi yang menciumku tanpa babibu, aku pun mendorong tubuh Andi dan kemudian menamparnya.
                PLAKKK!!! Suara telapak tanganku yang menyentuh pipinya terdengar nyaring dan meninggalkan bekas merah di pipinya. Andi yang secara mendadak mendapat tamparan keras dariku pun terkejut.
                “Apa yang baru saja kau lakukan, hah?” Tanyaku sinis.
                “Aku baru saja memberimu obat.” Jawab Andi sambil mengelus-elus pipi kanannya yang baru saja aku tampar.
                “Obat katamu? Obat macam apa? Kau baru saja menciumku bodoh.” Teriakku padanya.
                “Bodoh? Kau memanggilku bodoh?” Andi terlihat marah karena sebutan yang aku tujukan padanya. “Aku baru saja memberimu obat sekaligus pengalihan perhatian dari rasa sakit di perutmu. Dan kau malah memberiku tamparan dan mengataiku bodoh.” Ucap Andi sambil menjelaskan tindakan spontannya itu.
                “Apa kau bilang? Pengalih perhatian? Apa maksudmu dari … ” Belum tuntas aku menyelesaikan kalimatku kemudian aku tersadar kalau sakit di area perutku sudah tidak terasa lagi.  
                “Apa ku bilang, hah? Itu tadi obat sekaligus pengalihan perhatian.” Andi yang mengetahui aku baru saja menyadari pembelaannya tersenyum atas kemenangannya.
                “Tapi tetap saja barusan kau menciumku tanpa seijin dariku.” Jawabku tidak mau kalah dari perdebatan bodoh ini.
                Pagi menjelang. Teman-teman yang hanya mengetahui akhir hari kemarin dengan kejadian pingsannya diriku bertanya-tanya dengan keadaanku. Aku yang masih kesal dengan Andi hanya dapat menjawab sekenanya.
                “Aku gapapa kok. Kemarin cuma pusing aja.” Armita yang kemarin membantuku pun tampak sangat khawatir dengan kondisi kesehatanku. Aku pun meyakinkan teman-temanku bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.
***