Pertemuan ini sudah direncanakan.
Ini pertama kalinya aku bertemu kembali dengannya setelah empat tahun
perpisahan kami. Awalnya berat sekali untuk merencanakan pertemuan ini. Tapi
aku harus mencoba dan mengetahui sejauh mana hati ini telah berpaling darinya.
Aku yang memutuskan untuk berpisah, aku juga yang menghilang dari kehidupannya,
kini aku kembali.
Aku
memejamkan mata merasakan hembusan angin yang menerpa wajahku dan mendengar
desiran ombak yang beradu dengan batuan karang yang besar. Matahari sebentar
lagi akan terbenam, mungkin aku satu-satunya orang yang duduk dipinggiran
pantai seperti sekarang ini. Tempat ini sunyi namun begitu indah. Disini
bukanlah pantai yang bisa dikunjungi oleh orang-orang umum untuk berwisata tapi
tempat ini khusus dimiliki sebuah keluarga yang memiliki villa pribadi. Andi
menyewakan villa ini untuk kegiatan reuni kami. Aku yang menyelenggarakan acra
reuni ini dan Andi berbaik hati memohon kepada kedua orangtuanya untuk
meminjamkan villa ini untuk kami tinggali selama tiga hari. Kami tidak berdua
saja, ada Armita, Inggrid, Nita, Vic, dan teman-teman seangkatan kami lainnya
yang membulatkan jumlah menjadi duabelas orang.
Sore
menjelang malam. Semua berkumpul di dalam villa kecuali aku. Aku duduk dibawah
pohon kelapa yang tingginya sekitar 3,5 m lebih tinggi dariku. Aku bahkan tidak
menyadari kehadiran Andi yang sepertiya sudah semenjak tadi memerhatikan aku
dari kejauhan. Andi tiba-tiba saja duduk disampingku sambil terus
memerhatikanku. Aku membuka mata dan langsung menoleh kesamping ke tempat Andi
berada.
“Apa
yang sedang kau pikirkan?” Tanya Andi.
“Tidak
ada.” Jawabku sambil tersenyum dan menundukkan wajah.
“Ayo
kita ke dalam. Hari sudah semakin gelap.” Andi beranjak dari tempat duduknya
dan pergi terlebih dahulu. Aku hanya menghela nafas dan kemudian pergi
mengikutinya.
***
Suasana di
dalam villa sangat hangat dan sangat ramai. Vic sedang memvideokan kegiatan
kami dengan kamera digital baru miliknya. Armita, Nita, dan 2 temaku yang lain
sibuk menyiapkan makan malam. Inggrid sedang berbincang-bincang di meja makan
dengan Divo dan Margaret. Yang lainnya bersantai di depan televisi. Aku dan
Andi yang baru saja memasuki villa langsung menjadi sasaran kamera baru Vic.
“Ini
dia pasangan yang baru saja datang dari bulan madu. Hahahaha” Vic bercanda
kemudian tertawa. Aku yang sudah mengetahui wataknya tidak lagi menghiraukan
tingkah lakunya yang banyak omong itu.
“Diam
kau Vic. Hentikan itu.” Andi berkomentar sambil menjauhkan kamera dari
hadapannya.
“Kalian
dari mana saja?” Tanya Inggrid yang entah melontarkan pertanyaan kepadaku
ataukah kepada Andi.
“Aku
hanya berjalan-jalan di pinggir pantai saja kok.” Jawabku sambil tersenyum
kepada Inggrid.
“Ayo!
Kita makan. Makanan sudah siap nih.” Teriak Armita kepada kami semua. Vic yang
dari tadi sibuk dengan kameranya langsung bergegas ke ruang makan, begitu juga
yang lainnya.
***
Selesai
makan malam para wanita membereskan meja makan dan mencuci alat-alat makan.
Armita nampak sedang mengelap meja makan. Inggrid dan Margaret masih
melanjutkan percakapan mereka. Tiga teman wanitaku pergi ke lantai dua untuk
menata tempat tidur. Aku sendiri mencuci piring dan alat-alat makan.
PRANGGGGG!!!
Terdengar suara piring yang menyentuh lantai dan hancur berkeping-keping. Tanganku
bergetar, penglihatanku pun buram, aku mundur dari wastafel tempat aku mencuci
piring namun aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terasa lemas dan aku tak
dapat menopang berat tubuhku sendiri. Aku terhuyung hingga menabrak dinding
dibelakangku. Armita yang pertama kali membantuku. Ia memegang tanganku dan
menjaga tubuhku agar tidak jatuh. Kemudian yang lainnya berdatangan dan aku pun
tak sadarkan diri.
Gelap.
Yang aku lihat hanya kegelapan. Aku
ingin sekali membuka mata tetapi tak bisa. Mataku terasa berat dan sulit untu
dibuka. Aku merakan ada yang sedang menggendongku. Aku mencium aroma cologne
pria dan jika ku hidup aku mencium aroma woods dan forest. Tidak lama kemudian aku
merasakan tubuhku telah berada diatas kasur yang empuk.
***
Aku
tak tahu sudah tertidur berapa lama, tapi melihat jam dinding sekarang
menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Teman-temanku yang lain tentunya sudah
beristirahat. Akan tetapi aku merasakan ada yang sedang menggenggam tanganku.
“Andi.”
Ucapku lirih. Namun ucapanku membuatnya terbangun.
“Ra,
kamu udah sadar? Kamu gapapa? Apa yang kamu rasain?” Tanya Andi dengan nada
khawatir.
“Aku
gapapa kok.” Jawabku sekenanya.
“Apanya
yang gapapa? Kamu tadi pingsan.” Sanggah Andi masih dengan kekhawatiran.
“Aku
gapapa. Tadi aku cuma ngerasa pusing aja.” Jawabku berusaha untuk meredakan
kekhawatirannya. Akan tetapi kondisi tubuhku bertolak belakang dengan usahaku
untuk menenangkan Andi. Aku justru merasakan sakit di area perutku sekarang.
Aku tidak dapat menyembunyikannya karena Andi terlanjur melihat ekspresi
kesakitanku.
“Ouch.
Tsk.” Aku mencoba menahan rasa sakit sambil menggigit bibir bagian bawah. Namun
sakit yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Perutku terasa dililit sekaligus
diinjak-injak. Entah bagaimana menggambarkannya lebih baik lagi, tapi begitulah
yang aku rasakan. Tanpa aku sadari bibir ku terluka karena aku menggigitnya
terlalu keras. Andi yang kalut melihat keadaanku tanpa pikir panjang mencium
bibirku. Batinku berontak, pikiranku pun menghardiknya. Apa yang sedang dia
lakukan padaku. Mengapa dia menciumku? Tak lama setelah pikiranku yang ikut
kalut atas tindakan Andi yang menciumku tanpa babibu, aku pun mendorong tubuh
Andi dan kemudian menamparnya.
PLAKKK!!!
Suara telapak tanganku yang menyentuh pipinya terdengar nyaring dan
meninggalkan bekas merah di pipinya. Andi yang secara mendadak mendapat
tamparan keras dariku pun terkejut.
“Apa
yang baru saja kau lakukan, hah?” Tanyaku sinis.
“Aku
baru saja memberimu obat.” Jawab Andi sambil mengelus-elus pipi kanannya yang
baru saja aku tampar.
“Obat
katamu? Obat macam apa? Kau baru saja menciumku bodoh.” Teriakku padanya.
“Bodoh?
Kau memanggilku bodoh?” Andi terlihat marah karena sebutan yang aku tujukan
padanya. “Aku baru saja memberimu obat sekaligus pengalihan perhatian dari rasa
sakit di perutmu. Dan kau malah memberiku tamparan dan mengataiku bodoh.” Ucap
Andi sambil menjelaskan tindakan spontannya itu.
“Apa
kau bilang? Pengalih perhatian? Apa maksudmu dari … ” Belum tuntas aku
menyelesaikan kalimatku kemudian aku tersadar kalau sakit di area perutku sudah
tidak terasa lagi.
“Apa
ku bilang, hah? Itu tadi obat sekaligus pengalihan perhatian.” Andi yang
mengetahui aku baru saja menyadari pembelaannya tersenyum atas kemenangannya.
“Tapi
tetap saja barusan kau menciumku tanpa seijin dariku.” Jawabku tidak mau kalah
dari perdebatan bodoh ini.
Pagi
menjelang. Teman-teman yang hanya mengetahui akhir hari kemarin dengan kejadian
pingsannya diriku bertanya-tanya dengan keadaanku. Aku yang masih kesal dengan
Andi hanya dapat menjawab sekenanya.
“Aku
gapapa kok. Kemarin cuma pusing aja.” Armita yang kemarin membantuku pun tampak
sangat khawatir dengan kondisi kesehatanku. Aku pun meyakinkan teman-temanku
bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar